Lelaki itu sedang berjongkok di depan rumahnya. Keempat anaknya yang masih kecil-kecil juga berjongkok. Mereka tampak sibuk membersihkan butir-butir jagung yang berserakan. Tiada kata, tiada suara. Hening. Sementara matahari siang terasa menyengat.
Kalau tadi saya menyebut “rumah”, itu tidak lebih dari tempat berteduh beratap dedaunan kering dan berdinding anyaman batang bambu. Ada sebuah ruang sempit di bagian depan rumah, di samping pintu masuk. Dari ruangan itu mengepul asap dari kayu bakar. Sebuah ceret air berpantat hitam teronggok di atas tungku berupa susunan batu kali.
Paulus, nama lelaki itu, menatap penuh tanda tanya ketika saya menyapanya. Wajahnya berubah sedikit ramah ketika aktivis sebuah LSM memperkenalkan saya sebagai jurnalis televisi. Ayah empat anak asal Timor Timur itu mengaku sudah sepuluh tahun menetap di kamp pengungsi itu. Bersama ribuan pengungsi yang lari dari Timor Timur pasca konflik 1999, mereka ditampung di Kamp Pengungsi Tuapukan, Nusa Tenggara Timur.